Madam dan Mudik

  • Whatsapp

Oleh: Kadarisman (Permerhati Sosial Politik Banua)

MUDIK dan madam dua  hal yang tidak terlepas dari  budaya Banjar. Madam merupa rahim yang kemudian melahirkan budaya mudik, tetapi madam diperanakkan dari sebab asal di mana migrasi itu bermula: udik.

“Tunggul”  dari frasa mudik diambil dari bahaya Melayu, namun berakar pada bahasa Banjar dan kemudian diadop dalam “kesepakatan” nasional sebagai maksud merujuk kepada bahasa lain, pulang kampung, sekalipun kampungnya adalah sebuah ibu kota.

Tetapi jauh dari itu, mudik itu berarti hulu. Hulu itu adalah ujung terdalam, terjauh atau termula di mana asal sumber  mata air mengalir.

Maka tak salah jika mudik itu juga menunjukkan pada tempat pahuluan atau udik di pedalaman.

Pahuluan dapat bermakna asal muasal. Sebab dari aktivitas yang balik ke asalnya kemudian dimetafora sebagai mudik, balik sesaat ke kampung halaman asal.

Mudik dalam arti sebenarnya naik ke hulu, kembali ke pahuluan, ke udik dari tempat di hilir karena sebab sebelumnya ada aktivitas “balabuh”.

Balabuh sendiri lawan kata mudik. Jika mudik naik ke hulu, maka balabuh turun ke hilir.

Balabuh menjadi gerbang utama dari terjadinya aktivitas madam bubuhan sejak ribuan tahun lalu.

Budaya madam bubuhan serupa budaya merantau masyarakat Minang, keluar dari kampung halaman mencari peruntungan di negeri orang. Kelak berjaya kembali ke kampung membawa ilmu, pengalaman dan nilai ekonomi lainnya.

Madam ini bertali dengan istilah hulu dan hilir. Madam menjadi ada sebab orang-orang hulu yang turun ke hilir.  Dari gunung ke pantai, dari pantai ke pelabuhan, dari dermaga menyeberang lautan, dari Banua ke belahan dunia lainnya.

Hulu dan hilir dalam masyarakat banua juga dikenal juga sebagai petunjuk arah seperti, Barat – Timur – Utara – Selatan pada masyarakat Jawa.

Maka, jangan tanya pada urang Banjar, mana bagian Selatan atau bagian Utara. Tapi tanyalah,  mana arah hulu dan mana arah hilir. Dua arah itu mampu mencakup 4 mata arah sekaligus.

Seperti halnya kesejatian manusia, bahwa dunia hanyalah tempat madam belaka. Satu saat seterlena apapun dirinya oleh dunia, pastilah dia rindukan juga untuk mudik pada negeri akhirat.

Maka, Tuhan adalah hulu dari hulu. Apapun dan di manapun hilir dimukimi, Tuhanlah yang akan jadi tujuan mudik sejati. Tuhan asal mula segala yang ada bermula.

Karena itu mudik tidak boleh kehilangan nilai. Mudik tidak boleh terdistorsi dan mendegradasi moral. Tetapi mudik  mesti menjadikan setiap pribadi yang mudik agar  saleh secara sosial, saleh secara emosional dan secara spiritual.

Pada akhirnya, jika berani madam, maka mudik adalah kerinduan yang tak pernah padam. Aktivitas ini tak boleh dikekang. Karena ia adalah akar budaya bangsa yang mewarnai migrasi anak negeri dari homogen menjadi heterogen.

Mudik adalah perekat kebhinekaan dari kontribusi lokal untuk keutuhan nasional sebuah Indonesia.

Selamat Idul Fitri 1443 H, Mohon Maaf Lahir Bathin.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *