Opini: Ancaman Suara Perubahan

  • Whatsapp
Oleh: Kadarisman
(Pemerhati Sosial Politik Banua)

PILKADA Balangan semakin dekat, kurang dari tiga bulan terhitung saat ini. Perhelatan ikhtiar demokrasi tersebut  menjadi bagian pilkada serentak pada 9 Desember mendatang. Masih ada waktu bagi calon pilkada di Kabupaten Balangan untuk menyempurnakan usaha, sebelum semua ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pilkada di Balangan kali ini menjadi yang paling kompetitif. Pasalnya, kontestan yang minim dan kemungkinan yang besar akan head to head. Faktor lainnya adalah  ditemukannya angka 40% pemilih di Balangan belum bersikap alias belum menentukan pilihan. Ini angka yang sangat membuat rawan hati banyak pihak.

Kenyataan itu membuat peluang pemenang di Balangan terbagi sama. Artinya, oportunity bagi calon kepala daerah di Balangan sangat terbuka bagi penantang dan petahana. Jika nanti akan fix head to head, dimana KPU Balangan memutuskan hanya dua pasang calon yang berkompetisi, maka sudah pasti pasangan yang muncul adalah  Abdul Hadi – Supiani vs   Ansharuddin – M Noor Iswan.

Jika demikian nanti faktanya, suara perubahan yang menjadi jargon Abdul Hadi yang diusung dari koalisi PPP menjadi ancaman dan batu sandungan buat petahana.  Jorgon Abdul Hadi yang diyakini mampu membawa perubahan di Balangan berkorelasi dengan pertanyaan, apa sebab  40% suara pemilih belum menentukan pilihan.

Pilkada Balangan 2020 kali ini tidak sama dengan 2015 lalu. Betul-betul berbeda. Maka strategi pun mesti dirumuskan untuk meraih tujuan melalui jalan yang tak mesti sama. Waktu yang berlalu sangat mungkin membuat banyak keputusan pemilih menjadi dinamis.

Tidak dapat dipungkiri jika suara perubahan kemudian menjadi ancaman. Ada perubahan harapan yang dianggap lahir dari kenyataan-kenyataan politik yang tak dapat dihindari. Ini harus disadari bagi partai pengusung koalisi. Karena itu sangatlah strategis kemudian mengolah bahasa komunikasi politik dalam tiap kontestasi berbasis kepada fakta-fakta ilmiah.

Karena pilkada Balangan nanti sangat kompetitif, maka akan menjadi pertaruhan kedewasaan pemilih dalam menentukan nasib daerahnya. Mendewasakan pemilih adalah tugas semua elemen bangsa, karena negara sudah menyediakan ruang dan instrumennya. Maka itu pemerintahan pun mesti menjadi tunduk kepada tujuan-tujuan negara, termasuk aktor kekuasaan.

Partai politik harus tampil paling depan, bahwa pilkada bukan ajang pembodohan. Para elit politik  jangan “mahuluakan” memberikan opsi  pemilih dalam penentuan pragmatisme sempit. Praktik kotor bukan hanya soal politik uang, janji kosong, tetapi juga akses informasi yang memanipulasi  jejak rekam yang layak diketahui pemilih. Bagaimana pun rakyat mesti diberikan jaminan atau garansi supaya dapat menentukan pilihannya atas dasar rasionalitas yang sadar untuk menentukan kebaikan bersama.

Sudah saatnya rakyat dapat memiliki kebebasan pilihan yang lebih substansi, yakni kebebasan dari pengaruh kamuflase yang berturai ketidak benaran. Saatnya menjejalkan kedewasaan bahwa pilkada adalah ruang rasionalitas di mana pemilih dapat mendiskusikan apapun tentang harapannya. Menagih janji politik misalnya, menjadi kelumrahan yang harus dipandang sebagai kedewasaan masyarakat dalam politik.

Sejatinya ancaman kualitas demokrasi itu selalu muncul dan berakar pada elit politik. Masyarakat selalu menjadi objek yang menanggung konsekuensi dari apa yang dilakukan para elit. Tetapi keadaan tidak selalu seperti itu. Pilkada 2020 ini diyakini pasti akan lebih baik dan lebih berkualitas.

Berkualitas tidak semata dimaknai secara tekhnis dalam penyelanggaraan pilkada, tetapi juga secara psikologis dimana pemilih merasa terjamin haknya berbicara mengkritisi isu-isu yang berkembang di daerahnya, termasuk menyuarakan kekecewaannya atas apa yang mereka rasakan dalam batas yang sudah diatur oleh negara.

Pada akhirnya suara apapun di dalam alam demokrasi haruslah dianggap sebuah keniscayaan yang harus diletakkan di ladang luas penghormatan atas hak-hak kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk kuatnya suara perubahan yang menawarkan oase berpemerintahan di daerah.

Pada akhirnya apakah suara perubahan atau jargon lanjutkan merupakan dua hal yang sama-sama untuk kita terima sebagai wacana pilkada dan khasanah demokrasi yang memiliki tujuan untuk menghadirkan terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan berorientasi kerakyatan. Tapi ingat, rakyat butuh bukti, bukan janji!**

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *